(Unila): Siang itu, Senin, 3 Mei 2021, suasana di ruang kerja Kepala UPT Pengembangan Kerja sama dan Layanan Internasional (PKLI) Universitas Lampung (Unila) tampak tenang. Dr. Ayi Ahadiat, S.E., M.B.A., selaku Kepala UPT PKLI terlihat sibuk menandatangani beberapa berkas dan berbincang melalui saluran telepon.

Dalam percakapannya, ia terdengar sedang melakukan konfirmasi tentang perkembangan kerja sama yang dilakukan antara Unila dan salah satu top 100 world university yang ada di Jepang, dengan seorang dosen dari Fakultas Pertanian. Rencananya perkembangan tersebut disampaikan pada rapat yang bersama Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerja sama, dan TIK Unila.

Usai menyelesaikan pekerjaannya, Dr. Ayi mulai bercerita tentang kerja sama Unila dengan salah satu top 100 world university lainnya di kawasan Asean, yakni National University of Singapore (NUS), yang saat ini berada di peringkat 11 dunia.

Ia menceritakan, kerja sama keduanya sudah berlangsung sejak 2015. Kerja sama Unila dengan NUS dilakukan di bawah Lee Kuan Yew School of Public Policy melalui The Asian Competitiveness Institute (ACI), sebuah pusat riset tentang daya saing relatif ekonomi di kawasan Asean serta analisis ekonomi subnasional Cina, India, dan Indonesia.

Riset ACI yang didukung World Bank dilakukan untuk membantu mengisi kesenjangan kritis dalam pemahaman tentang pertumbuhan ekonomi, standar hidup, dan daya saing di Asia.

Penandatanganan kerja sama dilakukan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unila yang kala itu dipimpin Prof. Satria Bangsawan, S.E., M.Si., sebagai perwakilan Unila dan Dr. Tan Ghee Kiap dari ACI sebagai perwakilan NUS.

Dalam kerja sama ini, Unila memfasilitasi penyelenggaraan survei untuk memotret daya saing Provinsi Lampung terhadap seluruh provinsi di Indonesia setiap tahunnya.

Pelaksanaan survei tentunya berkolaborasi dengan pemerintah daerah Lampung dan pihak-pihak terkait. Hasil dari survei kemudian dipetakan untuk menemukan hasil ranking daya saing daerah, kemudian disampaikan dalam konferensi tahunan ACI dalam bentuk annual report.

Lamanya kerja sama yang dilakukan antara Unila dan NUS, menurut Dr. Ayi tidak dibatasi waktu. Meskipun masa waktu penelitian pada umumnya berlangsung selama kurang lebih satu tahun, durasi kerja sama tersebut lebih diwujudkan dalam bentuk letter of intent dengan tujuan bagaimana kerja sama ini membangun pengetahuan daya saing di Asia.

Dengan begitu kerja sama terus berlanjut meskipun saat ini harus dilakukan secara online akibat pandemi Covid-19.

Setiap tahunnya, penyelenggara konferensi ACI mengundang seluruh provinsi di Indonesia, termasuk Lampung, serta perwakilan dari Cina dan India. Konferensi tersebut juga mengundang sejumlah pejabat negara seperti menteri dan kepala Bappenas.

Perwakilan Lampung dihadiri oleh Unila sebagai perwakilan dari akademisi, pihak pemerintah daerah (pemda) dan perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) wilayah Lampung.

Kerja Sama dengan Hasil yang Konkret

Dr. Ayi mengungkapkan, kerja sama penelitian dengan NUS telah memberikan hasil yang sangat konkret, karena hasil penelitian langsung dikemas menjadi rekomendasi atau masukan untuk perumusan kebijakan pembangunan di daerah dan seluruh Indonesia.

Ada banyak masukan dan bahan untuk perumusan kebijakan pembangunan dan perencanaan pembangunan yang didapat, khususnya bagi pemangku kebijakan provinsi Lampung. Hal ini menjadi nilai plus tersendiri bagi Unila.

“Nah itu tidak dilakukan oleh lembaga lain, bahkan di Indonesia pun sering terputus inisiatif seperti itu. Inilah keuntungan kita melakukan kerja sama dengan lembaga yang reputasinya internasional,” ungkap pria kelahiran Bandung, 7 Maret 1965.

Untuk Unila, apa yang telah dicapai dan diimplemtasikan dalam kerja sama ini diakui terasa besar dampak dan manfaatnya. Melalui kerja sama ini, Unila berhasil memberikan pemikiran, gagasan, dan kinerja ekonomi daerah secara langsung setiap tahunnya.

Secara personal, Unila juga mampu memberi masukan untuk daya saing daerah sehingga daerah, baik Lampung maupun daerah lain dapat langsung memetakan aspek yang harus diperbaiki.

Peluang Kerja Sama Unila dan NUS

Berbicara peluang kerja sama lebih lanjut dengan NUS, lulusan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada itu mengakui bukan hal mudah. Meskipun begitu, ia tidak ingin pesimistis dan tidak menampik adanya peluang kerja sama lain yang dapat dijalin keduanya.

Pengembangan kerja sama dapat dilakukan lebih luas antara lain terkait hilirisasi kerja sama, hasil penelitian yang dibuat semacam entitas bisnis dan nonbisnis, hal-hal terkait jurnal dan akreditasi bereputasi internasional.

“Oleh karenanya, sangat perlu kita pelajari kiat-kiat kenapa NUS bisa sampai bisa 11 dunia,” ujarnya.

NUS sebagai universitas papan atas adalah universitas yang memiliki kredibilitas tinggi. Maka jika ingin menjalin kerja sama lebih lanjut, Unila harus mempertimbangkan apa timbal balik atau manfaat yang bisa ditawarkan agar kerja sama tersebut dapat tercapai.

“Kita harus lebih siap, baru dari kita apa yang bisa kita berikan yaitu mutual benefitnya. Jika dinilai tidak untuk apple to apple maka akan sulit untuk bekerja sama,” katanya.

Untuk menjajaki peluang kerja sama ini, Unila harus punya strategi dan mampu merancang skenario yang tepat. Strategi yang bisa dilakukan antara lain mendatangkan tenaga pengajar dari NUS untuk hadir di Unila, mengirimkan tenaga-tenaga pengajar Unila untuk melanjutkan studi S3 ke NUS, atau meminta NUS menjadi coach atau pembina bagi Unila, agar dapat closing the gap di antara keduanya.

“Saya sebagai bagian dari PKLI berharap, pimpinan dapat memperhatikan secara khusus kemungkinan peluang mengirimkan tenaga pendidik Unila untuk bersekolah di NUS, untuk mengambil S3 dan melakukan riset kolaborasi dengan NUS. Kita mengirim supaya ada alumni yang berasal dari NUS supaya ada engagement.”

Dr. Ayi juga mengungkapkan, akan menghubungi pihak Kedutaan Besar Indonesia di Singapore untuk memberikan dukungan dan perhatiannya kepada Unila terkait hal ini.

Selain strategi dan skenario yang dipersiapakan, aspek lain yang harus dikuatkan adalah aspek internal. Langkah-langkah kerja sama, sering kali ia lihat terhambat karena kehilangan ide untuk menindaklanjuti atau tidak mendapat komitmen dukungan dan fasilitas dana.

Ia percaya hal ini diawali karena kelemahan komunikasi internal yang kurang baik bagi. Maka dari itu, sangat perlu membangun kekuatan komunikasi internal sembari mengundang kekuatan eksternal untuk menguatkan Unila ke depannya.

Sinergitas untuk Mengimplementasikan Kerja Sama

Kerja sama yang telah lama dilakukan oleh NUS dan Unila tersebut diharapkan menjadi salah satu contohnya bahwa sejatinya sebuah bentuk kerja sama harus mampu mencapai level implementasi.

Hal ini diharapkan tidak hanya berlaku pada kerja sama dengan NUS, tapi dengan universitas lainnya. Kerja sama dengan berbagai universitas secara formalitas dilakukan melalui penandatanganan MoU oleh rektor dan MoA oleh warek PKTIK, dekan, dan lembaga sebagai payung kerja sama, sementara implementasi agreement melibatkan semua prodi.

Namun dalam melakukan kegiatan kerja sama, penandatanganan MoU dapat dilakukan secara fleksibel sehingga tidak harus menunggu MoU terlebih dahulu baru melaksanakan kerja sama.

Sebelum menutup pembicaraan, Dr. Ayi mengharapkan apa yang telah dimiliki Unila yakni kapasitas insani (human capital), pengetahuan, teknologi, dan moril hendaknya dapat dimaksimalkan dan disinergikan untuk melakukan upaya signifikan ke depannya.

Terlebih lagi saat ini Unila sudah mulai banyak diperhitungkan dan meraih ranking-rangking yang memuaskan pada beberapa perankingan nasional dan internasional.

“Harapannya adalah kerja sama ini harus total, seluruh unit kerja di Unila secara sinergi, inovatif melakukan pendekatan kolaboratif. Kalau dalam hal ini dengan universitas atau U to U, tapi bisa juga dengan pemerintah, NGO, bisnis baik nasional maupun internasional. Itu bisa kita lakukan,” imbuhnya mengakhiri pembicaraan. [Humas/Angel]