(Unila): Tingginya intensitas dan berulangnya konflik di Provinsi Lampung tidak berarti penanganan atas konflik tidak ada atau tidak pernah dilakukan.

Sebagaimana hasil pertemuan Komnas HAM dan Kepolisian Daerah Provinsi Lampung pada Juni 2015 terungkap, pihak kepolisian sudah memiliki mekanisme pendeteksian konflik sebagai bagian dari penyelesaian konflik.

Namun demikian, mekanisme tersebut bisa dianggap belum mampu untuk dijadikan pedoman atau standar operasional dalam menangani konflik. Hal ini dibuktikan dengan masih terjadinya konflik di Provinsi Lampung dan disinyalir konflik-konflik tersebut merupakan turunan atas konflik yang terjadi sebelumnya.

Oleh karena itu digelar Semiloka  “Upaya-upaya Penyelesaian Konflik Horizontal Guna Memperlancar Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia di Provinsi Lampung”. Pembahasan dan diskusi ini bertujuan untuk mengurai dan memformulasikan model penyelesaian konflik di Provinsi Lampung.

Semiloka dilakukan oleh beberapa aspek yakni gubernur Provinsi Lampung yang diwakili Sekretaris Daerah Arinal Djunaidi, Menteri Pertahanan RI yang diwakili Direktur Kebijakan Strategis, Kapolda Lampung diwakili Dirbinmas Polda Lampung, tokoh masyarakat Rizani Puspawijaya, dan Komnas HAM.

Semiloka ini merekomendasikan beberapa hal mulai dari adanya penegakan hukum yang dilakukan guna mengoptimalkan standar operasional prosedur dalam pra, proses, dan pascakonflik; melakukan musyawarah antara pihak-pihak yang berkoflik; ditambah dengan orientasi penyelesaian konflik dengan pendekatan kesejahteraan, heterogenitas, pendekatan agama, dan pendekatan hukum; serta menemukan dan mengenali akar permasalahan dengan model penyelesaian konflik.

Komisioner Komnas HAM Dr. Ansori Sinungan, S.H., L.L.M., mengatakan, perbedaan haruslah dimaknai sebagai modal dan potensi. Akan tetapi faktanya, perbedaan latar belakang justru telah menyulut konflik seperti adanya prasangka dan kecemburuan yang dianggap sebagai ancaman. Namun perbedaan ini jika dimanaj dengan baik maka akan menjadi wadah pengembangan di daerah Lampung.

Beberapa waktu lalu, kata Ansori, tim penyelesaian konflik sudah menyelesaikan tugasnya melalui sejumlah kegiatan. Semiloka kali ini dilakukan atas kerja sama Unila dan Pemprov Lampung. Diharapkan rekomendasi ini bisa dijadikan pedoman menyusun strategi sehingga kebijakan pemerintah daerah dan nasional berbasis HAM dapat tersusun.

Dr. Hamzah, S.H., M.H., mewakili Rektor Unila juga menyampaikan, sebagai miniatur Indonesia, Lampung mewadahi berbagai suku bangsa dan adat istiadat. Oleh karena itu sejumlah konflik di Lampung akan mengemuka secara nasional. Di sisi lain, ini adalah sebuah proses untuk terus menerus menjalankan demokrasi menjadikan Indonesia sebagai Negara Indonesia sebenarnya. “Karena itu sebagai universitas yang ada di Lampung melalui tridarma perguruan tinggi harus mampu meminimalkan konflik yang ada di Bumi Ruwa Jurai,” ujarnya.

Wakil Ketua Komnas HAM Siti Nurlaila berharap semiloka ini mampu menemukan sebuah pemikiran yang bisa dijadikan solusi untuk menyelesaikan konflik. “Kami juag berharap semiloka ini bisa lebih merekatkan Unila, pemda Lampung, dan masyarakat sipil untuk membuat ranah-ranah komprehensif penanganan konflik yang ada,” tuturnya.[*]