(Unila) : Guna mendukung tugas dan fungsinya, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia melakukan audiensi dengan civitas akademika Universitas Lampung (Unila) perihal kesiapan menghadapi Komunitas ASEAN 2015. Kegiatan berlangsung di Ruang Sidang Senat, Rektorat lantai II, Unila, Selasa (15/7).

Sekretariat Kabinet RI dalam hal ini mendelegasikan tiga perwakilannya yakni Roby Arya Brata, S.H.,LL.M.,M.PP.,Ph.D., selaku Kepala Bidang Hubungan Internasional Keasdepan Bidang Politik dan Hubungan Internasional, Novita, S.Sos., selaku Analis Kebijakan pada Subbidang Hubungan Bilateral dan Multilateral Keasdepan Bidang Politik dan Hubungan Internasional, dan Tania Cahya Utami Dewi, S.H., selaku Analis Kebijakan pada Subbidang Organisasi Internasional Keasdepan Bidang Politik dan Hubungan Internasional.

Sementara dari Unila diwakili oleh Pembantu Rektor III Prof. Dr. Sunarto DM, S.H.,M.H., dan dosen-dosen dari Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Pertanian, dan Fakultas ISIP di antaranya Dekan FISIP Unila Drs. Agus Hadiawan, M.Si., dosen FISIP Arizka Warganegara, S.IP.,M.A., dan dosen Fakultas Pertanian Dr. Ir. Erwanto, M.S.

Dalam audiensi itu Roby menjelaskan, kedatangan mereka bertujuan untuk melakukan sosialisasi dan monitoring terhadap kesiapan daerah dalam menghadapi Komunitas ASEAN 2015. “Kami meminta dari civitas akademika untuk memberi masukan. Jika dianggap perlu bisa kami sampaikan langsung ke presiden atau menteri-menteri yang berkaitan,” ujarnya.

Khusus untuk Komunitas ASEAN, kata dia, dibagi tiga pilar yaitu komunitas politik-keamanan, ekonomi, serta sosial-budaya. Tujuan utamanya adalah hendak menciptakan komunitas yang satu visi dan satu identitas. Sehingga mulai tahun depan nanti semua hampir seperti satu negara. Nah yang menjadi konsentrasi semua orang saat ini adalah masyarakatnya. Oleh karena itu pihaknya meminta pendapat dan masukan, sejauh mana Unila mengantisipasi dampak dari Masyarakat Economic Asean (MEA).

Agus Hadiawan menanggapi, berkaitan dengan Komunitas ASEAN adalah kesiapan SDM. Di Unila sendiri, sambungnya, sudah memiliki program studi baru yang sudah berjalan setahun ini yakni Hubungan Internasional. Kurikulum yang diajarkan difokuskan pada kurikulum ASEAN. Mulai dari politik, HI, dan keamanan. Mengenai terbentuknya Komunitas ASEAN tentu saja ini fenomena baru yang akan berkembang. Sekalipun Indonesia belum sama dengan masyarakat Eropa tapi arah perkembangan itu memang sudah terlihat. Misalny dengan munculnya ASEAN Free Trade Area (AFTA).

“Jika AFTA benar-benar berlaku maka kita pasti belum siap. Meskipun dari segi SDM kita sudah siap dengan menghasilkan lulusan yang siap bekerja di perusahaan-perusahaan multilateral. Hanya saja khsusus AFTA, jangan dulu diberlakukan hingga kita siap untuk dikompetitifkan dalam Komunitas ASEAN,” paparnya.

Senada dengan agus, Erwanto pun menanggapi, Komunitas ASEAN memang tantangan yang harus diamankan. Walaupun ada juga peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan. Kendati demikian supply change management dalam komunitas-komunitas masyarakat Indonesia pada umumnya belum tertata. Semua masih berjalan alami belum tertata baik dari regulasi, kemasan, maupun kualitas produk.

“Belum banyak produk kita yang bergerak ke hilir hanya karena inovasi teknologi yang macet. Proses eksekusi di lapangan kita gagal. Dan saya lihat peran penyuluh pertanian itu makin lama menghilang, tidak masif seperti sebelumnya,” tukasnya.

Menurut mantan dekan Fakultas Pertanian Unila ini, inovasi teknologi menjadi salah satu problem besar di masyarakat, khsusunya petani dan pengusaha. Apalagi belanja pemerintah terhadap pembelian teknologi dan riset msh terbelakang dibading dengan negara-negara lain. Berikutnya soal infrastruktur yang membuat produk-produk kita tidak kompettif. Malah mungkin bisa jadi produk dari luar negeri, Thailand misalnya, akan jauh lebih murah dibanding dengan produksi buah yang sama di daerah, Suwoh misalnya.

Di Lampung, kata dia, sudah didirikan terminal agribisnis baru. Namun ini baru raganya saja, sedang jiwanya belum. Problem selanjutnya yakni pertarungan entrepreneurship. Dari sisi jumlah entrepreneur kita masih sangat minim, apalagi dari segi kapasitas. “Karena itu pemerintah perlu membuat kebijakan khusus untuk menghadapi MEA. Yakni dengan memberikan kemudahan pembiayaan kepada para pengusaha. Ini akan sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan bisnis, ada skema/lembaga pembiayaan khusus agar lebih efisien dalam berinovasi.[] Inay