(Unila) : Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., mendesak terealisasinya pengadilan agraria di Indonesia. Ia juga menekankan perlunya keberpihakan atas petani di Undang Undang (UU) Agraria yang tengah disusun itu.

Menurut Rektor, UU Agraria merupakan pintu masuk dan ke luar dalam mengatasi berbagai persoalan agraria yang berkembang di tengah masyakarat. Hal ini tidak terlepas dari persoalan kepemilikan, penggunaan, sengketa tanah, alih fungsi tanah adat, lahan negara, lahan hutan, pedesaan, jenis tanaman yang ditanam, pajak, kemiskinan, transmigrasi dan hal terkait lainnya.

“Dalam berbagai persoalan itu rakyat kecil yang selalu dirugikan. Maka saya meminta RUU Agraria disertai terealisasinya pengadilan agraria yang berpihak pada rakyat kecil. Hak mereka selalu terenggut oleh kepentingan pihak berkuasa dan kepentingan lainnya,” ujar Sugeng saat menerima kunjungan Komisi I DPD RI terkait Uji sahih RUU Tentang Pengadilan Agraria di ruang sidang Rektorat Unila, Senin (12/5).

Ia juga mengatakan, bila acuannya di Lampung, maka konflik tanah yang terjadi kerap berujung pada nyawa. Inilah permasalahannya karena tanah yang harusnya milik petani justru digunakan sebagai kepentingan politik negara guna mendapatkan keuntungan.

Negara lupa adanya hukum adat yang memang tidak bisa digantikan dengan hukum nasional. Pemerintah kurang memperhatikan nasib petani. Bila nanti disahkan, kata dia, Undang-Undang Agraria ini harus mengakomodasi dan melindungi posisi petani.

“Saya berharap UU Agraria ini menjadi suatu pencerahan atas konflik pertanahan yang terjadi dengan tetap berbasis pada masyarakat kecil. Maka kepada seluruh rekan-rekan yang telah melakukan riset dan penelitian bisa memberi masukan,” tegasnya.

Senada dengan rektor, Pimpinan Komite I DPD RI Drs. Abdurahman, M.AP., memaparkan, salah satu persoalan mendasar agraria saat ini adalah maraknya konflik penggunaan, pemanfaatan, kepemilikan, dari sumber-sumber yang ada. Hal itu yang membuat munculnya konflik antara negara-masyarakat, masyarakat-perusahaan, dan perusahaan-negara.

Oleh karena itu terdapat tiga alasan mengapa rancangan undang-undang agraria perlu segera diberlakukan. Antara lain makin banyaknya laporan konflik pertanahan yang diterima DPD RI, yang perlu ditangani secara serius dan berkeadilan.

Selanjutnya, konflik agraria adalah persoalan yang extraordinary. Mengapa demikian karena sangat struktural dan masif sehingga efeknya banyak melibatkan masyarakat maupun komunitas.

“Alasan ketiga, adalah untuk melakukan kajian khusus pengadilan agraria guna menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi. Tentunya secara berkeadilan agar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dapat tercapai,” terang Abdurahman.

Ir. Anang Prihantoro selaku Ketua Tim Kerja RUU Pengadilan Agraria DPD RI menambahkan, persoalan agraria di Indonesia bisa dirunut dalam beberapa aspek. Pertama, hilangnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria. Kedua, kerusakan struktur sosial masyarakat yang didasari atas struktur agraria yang timpang.

Ketiga, kerusakan mutu ekologi yang berkaitan langsung dengan turunan mutu manusia yang kehidupannya bergantung terhadap sumber daya agraria.

Oleh karena itu penyelesaian konflik agraria sesungguhnya bukan sekadar untuk mengakhiri kekerasan supaya tidak berulang, tetapi lebih jauh adalah untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, sambungnya, Komisi I DPD-RI memandang perlu menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria yang secara khusus akan mengatur pengadilan dalam menangani sengketa/konflik agraria. Khususnya yang terjadi di daerah-daerah, termasuk Lampung.

“Konflik pertanahan yang terjadi di Lampung termasuk 5 besar dari seluruh provinsi di Indonesia. Ini bisa kita baca dari isu-isu media cetak yang berkembang dalam dua tahun terakhir. Oleh karena itu, diharapkan UU Agraria ini mampu menjembatani penyelesaian konflik-konflik yang terjadi,” papar Anggota DPD RI 2009-2014 dari Provinsi Lampung ini.[] Inay