Foto K Dedi
Seminar Nasional Perempuan, Ruang Publik, dan Islam

(Unila) : Urusan publik adalah urusan bersama, baik laki-laki maupun perempuan. Laki-laki tidak sekadar berjalan di sektor publik dan perempuan berjalan di sektor domestik. Keduanya memiliki peran yang sama. Pendikotomian peran menjadi tidak adil, terutama bagi perempuan. Terlebih, berbuat baik bagi sesama merupakan tugas laki-laki dan perempuan. Demikaian yang disampaikan Dr. Ari Darmastuti dalam Seminar Nasional “Perempuan, Ruang Publik, dan Islam” di Auditorium Perpustakaan Universitas Lampung (Unila), Selasa (5/3).

Menurut Kepala Program Pascasarjana Ilmu Pemerintahan FISIP Unila itu, dengan adanya peran perempuan di sektor publik justru memperkuat dampak kebaikan. Wacana bahwa perempuan dan laki-laki ibarat matahari dan bulan yang harus beredar di orbit masing-masing, laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik, adalah kurang tepat.

Perempuan yang masuk ke sektor publik tidak harus disertai profesi tertentu seperti berperan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun peran di sektor publik bisa dilakukan dengan mengikuti kegiatan pengajian, posyandu, dan lainnya.  Amar ma’ruf nahi munkar harus dikerjakan bersama-sama. Artinya, baik laki-laki dan perempuan bersama-sama harus mengurus urusan publik maupun domestik.

Ari memaparkan, minimnya peran perempuan di ranah publik karena implikasi paham ideologis. Misalnya, perempuan tidak dibenarkan masuk ranah publik karena akan mengakibatkan kekacauan. Kekacauan masyarakat dilekatkan sebagai kesalahan perempuan. Selain itu, perempuan menuntut keadilan dan kesetaraan gender dalam semua aturan, kebijakan, program, dan kegiatan publik. Ditambah lagi, peran publik jadi beban berat untuk perempuan dan kalau ada masalah di ranah domestik dianggap kesalahan perempuan.

Ruang publik saat ini, kata Ari, lebih dekat pada karakter maskulin yang tegas, berani, cekatan/cepat mengambil keputusan. Sektor publik menjadi domain laki-laki. Kekuasaan publik dianggap tidak perlu dan tidak memiliki karakteristik unggul dari feminitas berupa kesabaran, kejujuran, dan kesetiaan. Sementara, kekuasaan publik identik dengan persaingan dan konflik dengan penyelesaian masalah berciri zero sum game.

Tantangan lain yang hadir bagi perempuan di sektor publik adalah dari aspek budaya. Feminitas dianggap sebagai kelemahan, bukan sebagai kelengkapan social engineering. Urusan publik dianggap semata-mata memasyarakatkan maskulinitas, sementara perempuan merupakan incomplete sucject (kekurangan maskulinitas).

Dra. Dewani Romli, M. A. menambahkan, tidak ada larangan bagi perempuan berperan di sektor publik bila dilihat dari kaca mata agama Islam. Bahkan, sejak zaman Rasulullah saw., peran perempuan di sektor publik sudah terjadi. Prinsip Islam berupa persamaan antara manusia tanpa mendiskriminasikan perbedaan jenis kelamin, neara, bangsa, suku, dan keturuan. Semuanya berada dalam posisi yang sejajar. Hal yang dapat meninggikan dan perendahkan kualitas seseorang adalah nilai pengabdiannya dan ketakwaannya kepada Allah swt. (Q.S. Al-Hujurat: 13).

Lemahnya pemberdayaan perempuan, kata Dewani, tidak terlepas dari historis, pengaruh konsep kultur, ras, politik, dan agama yang berlangsung lama. Kemudian, pengaruh interpretasi/pemahaman agama yang keliru dan mendiskriminatifkan perempuan adalah sangat dominan. Selain itu, nilai-nilai agama yang dianut terkadang tarik-menarik terhadap nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah ketidakadilan gender, kekerasan, diskriminasi, dan penindasan. Untuk dapat mencerahkan kesalahtafsiran atas berbagai aturan agaman, perlu adanya teori persamaan (musawa), rekonstruksi, dekonstruksi, dan analisis terhadap hadist misogini (hadist yang mendiskreditkan perempuan).

Dipandang dari adat dan budaya Lampung, Anshori Djausal, M.T. menerangkan, perempuan memiliki posisi yang tinggi dan dihormati dalam budaya Lampung. Seorang perempuan telah diberlakukan secara adat sejak lahir. Perempuan diberi juluk sesuai latar belakang atau status sosial di dalam adat. Setiap juluk diiringi pantun dan merupakan doa bagi yang menerimanya.

Terhadap muli (gadis Lampung), tidak diberlakukan aturan yang kaku dan menghambat keberadaannya di masyarakat. Aturan-aturan adat yang terkait pada muli merupakan bentuk penjagaan sebagai simbol kebaikan kampung atau keluarga. Setelah berkeluarga, seorang muli memiliki peran yang lebih besar, baik dalam keluarga suami maupun keluarga adat.

Dalam seminar yang merupakan kerja sama Unila, Universitas Paramadina, dan The Asia Foundation ini, perempuan diharapkan dapat memainkan peran, baik di sektor publik maupun domestik. Selain itu, perlu adanya rekonstruksi pemikiran yang mendiskreditkan peran perempuan di sektor publik.[]