Sudjarwo                                                                                                            Profesor Ilmu-Ilmu Sosial FKIP Unila

TERJADINYA pagebluk korona di Indonesia tampaknya berjalan lambat untuk meninggalkan bumi Nusantara ini. Upaya pemerintah dari yang bersifat preventif, edukatif, sampai dengan isolatif sudah dan sedang terus dilakukan bersama elemen masyarakat yang ada. Ekses yang muncul pun beragam, dari aspek ekonomi, sosial, dan banyak hal lagi mengemuka begitu kentara.

Kondisi serupa ini melanda boleh dikatakan hampir semua negara di dunia. Ke-206 negara yang menyatakan terserang virus ini mengalami guncangan sosial. Negara yang semula makmur terjun bebas menjadi negara yang nyaris bangkrut. Negara yang semula adikuasa berubah menjadi negara yang tak berdaya. Virus yang berukuran nano ini meluluhlantakkan dunia dan isinya.

Pengangguran besar-besaran terjadi di mana-mana, bahkan kondisi seperti ini banyak ahli menyebutnya seperti zaman krisis malaise pada 1929. Walaupun sebenarnya tidak tepat benar, beberapa ekonom mengiyakan walau hanya dengan anggukan kepala. Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 10 Agustus 2017 dengan judul Depresi Besar yang Pernah Menghancurkan Amerika oleh Faisal Irfani.

Terlepas dari kontraksi ekonomi di atas, ada perilaku baru yang muncul pada saat perintah “kerja di rumah” di tengah banyaknya pekerja dirumahkan, yaitu munculnya peran aktif generasi milenial yang menguasai percepatan alih teknologi dari 4G menuju 5G. Penggunaan aplikasi digital begitu masif digunakan oleh generasi ini. Mereka berselancar ria menggunakan aplikasi teknologi di ujung jari, membedah misteri, serta menemukenali dan beraudisi dengan pihak mana pun tanpa harus bertatap muka dan lebih suka bertatap maya.

Penguasaan teknologi yang mereka miliki menembus halangan waktu, jarak, dan tempat, sehingga tidak jarang generasi tua—atau menggunakan istilah sosiologi walau tidak tepat benar: generasi kolonial—menjadi begitu terbirit-birit mengejar kemajuan generasi milenial ini. Tidak jarang mereka harus memerlukan pendampingan untuk mengejar ketertinggalan.

Tampaknya, peristiwa korona menimbulkan dampak pengiring bagi keberlangsungan generasi manusia di bumi. Pemilahan bahkan pembelahan sosial terjadi di mana-mana. Pisau penguasaan teknologi menjadi alat pemotong ampuh bagi pembelahan sosial. Semula hanya Alvin Tofler yang memprediksi di masa 1970-an menjelang akhir abad 20 lalu.

Kita bisa menelisik satu per satu kehidupan yang terkena pembelahan sosial. Dunia ekonomi paling pertama terdampak pembelahan ini. Dunia persuratkabaran yang bertransformasi dari kertas ke digital juga memakan korban tidak sedikit. Dunia perhubungan yang menggunakan e-ticketing telah meluluhlantakkan peran generasi kolonial yang senang antre berdesakan. Jelas semua ini akan berdampak luas ke relung kehidupan sosial.

Dampak Dunia Pendidikan

Dunia pendidikan lebih masif lagi, sekarang sedang berlangsung pembelahan itu dengan bengisnya. Penguasaan pembelajaran daring berprovider dan nonprovider sedang berjalan beriring. Roda itu menggilas generasi kolonial dengan cara memaksa mereka. Jika ingin survive, dia harus ikut berubah. Jika tidak mau, kuburan sosial akan menunggu mereka untuk tenggelam bersama zaman.

Kekejaman ini semakin mengemuka saat pandemi berlangsung. Seperti mendapatkan energi baru, laju kecepatannya seolah mendapatkan bahan bakar untuk mereduksi mereka dengan pilihan hanya dua: berubah atau tergerus. Tampaknya kekejaman ini paling tampak pada dunia pendidikan tinggi, sementara untuk pendidikan persekolahan masih bisa tertolong karena ketersebaran kemampuan siswa, baik secara finansial maupun akademik, masih begitu besar variasinya, sehingga guru milenial selalu menjadi “bantalan” bagi seniornya jika ada yang tidak mereka kuasai.

Kondisi normal sebenarnya kejadian serupa ini akan berlangsung alami sampai dengan 2035. Namun, tampaknya percepatan itu akan terjadi lebih maju lima tahun. Alasan akademiknya adalah bahwa anak-anak yang lahir pada 2000 akan menjadi pemimpin muda Indonesia semula diprediksi pada 2035. Akan tetapi, dengan percepatan penguasaan teknologi dan seleksi alami, pada 2030 banyak di antara mereka sudah memimpin Indonesia. Pada saat Indonesia satu abad pada 17 Agustus 2045, mereka sudah memegang semua lini kehidupan Indonesia yang berbasis teknologi.

Pertanyaan tersisa, apa yang harus kita persiapkan? Jawaban untuk pertanyaan ini tidak mudah, karena menyangkut banyak hal dan banyak aspek. Namun, keduanya menyatu pada keikhlasan kita semua, terutama generasi kolonial, untuk bersiap diri mundur dan memberikan kesempatan kepada generasi milenial untuk mengatur diri guna menerima estafet kegenerasian dari yang terdahulu.

Generasi yang naik panggung antara 2020 sampai 2030 adalah generasi antara yang merupakan landasan guna pancatan bagi generasi 2000 menuju panggungnya. Oleh karena itu, keikhlasan generasi ini sangat diminta karena pada waktunya ini harus ditinggal oleh generasi milenial yang memiliki tatanan dan norma tersendiri. ***

[Artikel ini Hasil Kerja Sama Universitas Lampung dan Lampung Post]