
(Unila) : Adanya kajian akademis guna mengukur potensi bencana alam yang dapat terjadi di Lampung kian mendesak, mengingat provinsi Sai Bumi Ruwa Jurai ini memiliki tingkat kerentanan cukup tinggi, terutama pada banjir, tanah longsor, dan gempa.
Pemikiran itu berkembang dalam workshop Kebencanaan Forum Sigap Bencana Unit Universitas Lampung (Unila), yang diselenggarakan di Aula Fakultas Pertanian Unila, Jumat (11/4). Hadir sebagai pembicara, Kepala Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) Indonesia Dr. Rajan Gengaje, M.Si., P.Si.
Pembicara lainnya adalah Kepala Bidang Pencegahan dan Keselamatan BPBD Lampung Drs. A.G.P. Madiono, Kepala Humanitarian Forum Indonesia Surya Rahman, M.S.,P.Si., dan perwakilan dari PMI Lampung Ir. Sumiyanto. Kegiatan dibuka langsung Pembantu Rektor III Unila Prof. Dr. Sunarto DM., S.H., M.H. Hadir pula puluhan mahasiswa dari berbagai fakultas di Unila.
Dalam pemaparannya Gengaje mengungkapkan, Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 246 juta jiwa, yang tersebar di 17 ribu pulau, memiliki tantangan tersendiri untuk mengelola bencana. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah terjadi sebanyak 13.200 bencana di Indonesia dalam kurun waktu sepanjang 2013, yang telah merenggut 200 korban jiwa.
Tantangan di tingkat nasional menurut Gengaje, juga harus menjadi perhatian serius, seperti halnya isu perubahan iklim yang menjadi perhatian masyarakat global. Bencana klimatologis akibat perubahan iklim, menurutnya, terkait erat dengan apa yang dilakukan manusia di masa lampau hingga menjadi dampak di masa kini dan yang akan datang.
“Pertanyaannya adalah, apa yang akan kita lakukan sebagai akademik untuk menyelamatkan nyawa dan mengurangi penderitaan rakyat miskin. Dalam menjawab isu-isu penanggulangan bencana, apa yang bisa dilakukan pemerintah dan akademis,” tanya Kepala Kepala Kantor Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Urusan Kemanusiaan ini menutup paparannya.
Terkait hal tersebut, Kepala Bidang Pencegahan dan Keselamatan BPBD Lampung Drs. AGP. Madiono mengatakan, peran akademisi untuk membuat kajian-kajian yang bisa diberdayagunakan bagi penanggulangan bencana kian mendesak. Baik pada saat sebelum, saat terjadi, maupun setelah bencana. “Selama ini kita terlalu fokus pada penanganan bencana saja,” ujarnya.
Padahal, tambahnya, dengan adanya kajian akademik terkait potensi bencana maka sebelum bencana itu terjadi, masyarakat sudah bisa menentukan titik rawan terjadinya bencana. Berikut hal-hal apa saja yang dapat dilakukan ketika bencana itu datang dan bagaimana solusinya. “Banjir, longsor, dan gempa merupakan bencana potensial di Lampung. Bahkan setiap satu menit terjadi gempa kecil di Liwa,” kata dia.
Berdasarkan pengalamannya sebagai relawan, Madiono menyimpulkan, tidak adanya kajian akademis terkadang menyebabkan bentuk penanggulangan bencana di lapangan dilakukan dengan pendekatan yang salah.
“Contoh kasus gempa bumi di Yogya beberapa waktu lalu. Terlalu banyak posko yang didirikan sebagai perwakilan dari bermacam-macam elemen. Pendistribusian bantuan tak terkontrol, langsung diberikan ke masyarakat. Akibatnya tiga kecamatan justru mengalami keracunan akibat mengonsumsi bantuan makanan yang sudah kadaluarsa,” tandasnya.
Oleh karena itu, kedua pembicara sepakat bahwa peran serta seluruh elemen masyarakat, pemerintah, civitas akademika, perusahaan-perusahaan swasta, serta LSM sangat diperlukan dalam hal mitigasi dan penanggulangan bencana. Selain bantuan sosial, peran serta bisa berbentuk edukasi, informasi, dan respon yang sigap dalam menanggapi bencana alam maupun bencana sosial.[] Inay