(Lampung Post): Dua rekomendasi yang dihasilkan dari diskusi mencintai Lampung menyelamatkan Indonesia bertajuk “Kembalikan harga diri Lampung Kamus Bahasa Lampung Pertama karya HN Van der Tuuk” adalah pertama, program Bahasa Lampung Unila dibuka lagi. Kedua, pengembangan bahasa Lampung dari manuskrip van der Tuuk setebal 600 halaman yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Demikian diungkapkan pemandu diskusi sekaligus jurnalis The Jakarta Post, Oyos Saroso HN di hotel Emersia, Bandar Lampung, Kamis (27/2).

Ada dua narasumber yang dihadirkan oleh penyelenggara Yayasan Lampung Peduli, Lampung Post, dan Dewan Kesenian Lampung(DKL) itu. Pertama, Kees Groeneboer, Kepala Erasmus Taalcentrum kedutaan besar Belanda di Jakarta. Kedua, Djadjat Sudradjat, budayawan Lampung.

Bahasa adalah ibu kebudayaan. Dengan mengetahui suatu bahasa, kode dan rahasia suatu bangsa teridentifikasi. Karena itu, merawat bahasa, adalah kuncinya. Begitulah penuturan Djadjat Sudradjat sebagai pengantar diskusi. Djadjat juga mengungkapkan di era globalisasi seperti sekarang, dengan mengutip buku paradox global, identitas seseorang justru ingin diketahui.

Menurut Djadjat, perlu ada kajian setelah kamus ini ditemukan dan sudah disediakan dalam perangkat digital. Lampung juga harus memikirkan secara serius untuk mendirikan semacam Fakultas Ilmu Budaya di Universitas.

“Setelah kamus ini ada dalam bentuk digital, harus bisa menjadi bahan bandingan. Mekanisme kultural juga harus dibangun secara bersama. Satu untuk semuanya,” kata dia.

Djadjat mencontohkan betapa sulitnya Lampung untuk bersatu pada dalam bidang bahasa Lampung. Ada yang bersikukuh menggunakan dialek api dan ada pula yang berdialek nyow. Padahal, lanjut Djadjat, sebenarnya masyarakat Lampung bisa bercermin dari penggunaan bahasa Indonesia mula. “Orang beretnis Jawa itu musti mengalah demi penggunaan bahasa Melayu yang lebih dulu,” kata Djadjat.

Beragam tanggapan disajikan para penanggap yang terdiri dari unsur pelaku seni dan budaya, pengamat bahasa Lampung, pemerintah, media massa, juga masyarakat. Junaiyah HM, doktor pertama Bahasa Lampung mengungkapkan bahwa bahasa Lampung punya fonem yang sedikit berbeda dengan bahasa-bahasa di dunia. Karena itu, dia juga berharap agar jurusan Bahasa Lampung di Universitas Lampung (Unila) yang sempat ada dihadirkan kembali.

“Saya tidak usah dibayar. Saya siap bekerja untuk itu. Yang terpenting, jangan berdiam diri saja,” ujarnya.

Masri Yahya, mantan kadisbudpar Lampung, juga mengungkapkan bahwa kehadiran kamus bahasa Lampung dari van der Tuuk ini kiranya bisa menjadi momentum bagi pengembangan bahasa Lampung. “Mulailah manfaatkan bahasa Lampung di rumah-rumah. Itulah cara praktis mengembangkan bahasa Lampung bisa diterima,” kata dia. []


Sumber : Lampung Post, 28 Februari 2014

Artikel ini diambil dari berbagai media yang memberitakan Universitas Lampung, tidak memperhitungkan ada kerja sama atau tidak dan perlu dikonfirmasikan ke Unila jika ada hal yang tidak jelas.