Asrian Hendi Caya Akademisi Unila; Peneliti Pusiban
SUDAH jatuh, tertimpa tangga, jatuh di lumpur pula. Itulah gambaran petani karet saat ini. Bagaimana tidak, harga karet kini bukan lagi turun, tetapi “pindah harga” karena sangat anjlok. Sudah beberapa bulan terakhir, harga berkisar Rp3.000—Rp4.000 per kilogram. Populernya, ini dampak pandemi Covid-19.
Hal ini karena harga karet dalam negeri sangat dipengaruhi harga di pasar dunia. Pasar dunia sedang anjlok karena banyak negara mengalami lockdown akibat pandemi Covid-19, yang memang pasar utama karet dunia, salah satunya Tiongkok. Tiongkok adalah pengguna terbesar karet alam dunia, yang diperkirakan pangsanya sekitar 40%. Selain Tiongkok, pasar utama karet adalah Eropa Barat, Amerika Serikat, Asia Tenggara, dan Asia Selatan.
Tertekannya harga karet dunia tidak terlepas dari adanya pemasok baru karet alam di pasar dunia, seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja. Artinya, pasok (supply) dunia semakin banyak. Selama ini pasok utama karet dunia berasal dari Thailand, Vietnam, India, Tiongkok, Malaysia, dan Indonesia, yang menguasai pasar dunia karet sampai sekitar 85%.
Pembentukan harga pasar dunia salah satunya dipengaruhi pasar berjangka internasional. Selama ini yang cukup berpengaruh adalah pasar Singapura (SICOM), di samping bursa di Tokyo Jepang (TOCOM) dan Sanghai Future Exchane. Bersamaan dengan itu, nilai kurs valuta asing ikut memengaruhi pembentukan harga karet dunia, terutama pengaruh nilai tukar mata uang regional terhadap dolar Amerika Serikat.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah industri ban, karena sekitar 70% pasar karet dunia diserap industri ban. Melemahnya ekonomi dunia memukul industri otomotif, sedangkan industri otomotif merupakan pengguna utama industri ban. Begitulah saling pengaruh ekonomi antarnegara dan antarkegiatan ekonomi.
Globalisasi telah mengintegrasi ekonomi dunia sehingga kejadian ekonomi di suatu negara berpengaruh pada negara lainnya, apalagi negara tersebut berperan besar dalam ekonomi dunia, seperti Amerika Serikat dan TIongkok. Bbelakangan ini yang justru mengkhawatirkan adalah perang dagang antara raksasa ekonomi, yaitu antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Ternyata masih ada masalah lain, yaitu pesaing berupa karet sintetis. Karet sintetis berasal dari minyak mentah. Sementara belakangan ini harga minyak mentah sempat turun drastis. Ini tentu akan menekan harga karet alam di pasar global, sedangkan sebagian besar karet Indonesia diekspor, yaitu mencapai sekitar 80%.
Pasar dalam negeri juga terdampak. Di Sumatera sendiri, pabrik yang di Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Barat sudah tutup. Bahkan, sepertinya akan menyusul yang di Sumatera Selatan. Hal ini menambah beban masalah petani karet. Karena sudah harganya turun, penampung karet juga banyak yang tidak beroperasi lagi. Kesulitan ini semakin diperparah dengan cuaca yang kurang mendukung.
Banyaknya hujan menyebabkan kemampuan petani menyadap getah karet turun. Diperkirakan, hasil penyadapan kurang dari 30 kg per hari per hektare. Ternyata sebagian petani karet adalah penggarap. Dengan demikian, hasil yang diperoleh hanya sepertiganya. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi petani karet.
Petani karet di Lampung sepertinya lebih berat dibandingkan di Sumsel. Berita yang dilansir Lampost: “Di awal Januari 2020, harga getah karet mingguan sempat mengalami kenaikan dari Rp5.500/kg naik menjadi Rp7.000/kg. Pada Februari, harga berangsur turun menjadi Rp6.000/kg, Pada Maret, harga kembali turun Rp5.000/kg. April 2020, harga kembali jatuh di angka Rp4.000/kilo”.
Sementara IDN Times Palembang memberitakan: “Harga jual karet kering pada Maret ini menjadi yang terburuk selama tahun 2020 ini, yakni Rp 13.892. Di Januari terendah 14.950 dan pada Februari terendah 13.915,” ujar dia (Kepala Bidang Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian), Senin (30/3).
Pendekatan Demand dan Supply
Lalu, bagaimana mencari jalan keluar masalah ini. Memang sulit untuk memengaruhi harga pasar dunia, karena banyak sekali faktor yang memengaruhinya. Namun, upaya untuk memengaruhi dapat menggunakan pendekatan demand (permintaan) dan supply (penawaran). Dalam rangka memperbaiki harga International Tripartite Rubber Council (ITRC) pada tahun 2019 (triwulan 2 dan 3) bersepakat membatasi ekspor. Hal ini dimaksudkan untuk menekan penawaran.
Bagi Indonesia, tentunya pangsa karet yang besar untuk ekspor harus memiliki strategi untuk memperluas pasar ke negara-negara lainnya. Agar punya daya saing tinggi, produktivitas dan mutu karet harus terus ditingkatkan sehingga baik harga dan mutu dapat bersaing. Yang tak kalah penting adalah memperbesar pasar dalam negeri, yaitu dengan mendorong hilirasi karet melalui penumbuhan industri yang berbasis bahan baku karet. Jika selama ini pabrik ban merupakan penyerap terbesar, ke depan harus didorong industri alat olahraga dan rumah tangga, sarung tangan, alas kaki, alat teknik, benang, dll.
Sumatera adalah penghasil utama karet di Indonesia. Tujuh dari sepuluh besar penghasil karet Indonesia ada di Sumatera. Lampung termasuk sepuluh besar penghasil karet. Karena itu, industri berbahan baku karet harus ditumbuhkan di Sumatera, apalagi dengan akan tersambungnya Sumatera dan Jawa melalui jalan tol yang kini tengah dibangun.
Mengingat penghasil utama karet adalah perkebunan rakyat, harus ada upaya untuk membina petani karet agar produktivitas dan mutu karet tinggi. Ke depan tetap harus memberdayakan petani dengan menerapkan budi daya yang baik. Mengingat harga tidak stabil, apalagi sampai terpuruk dengan waktu lama maka harus ada skema jaring pengaman bagi petani karet pada saat krisis seperti saat ini akibat pandemi Covid-19. Bila tidak, akan ada jalan pintas yang dilakukan petani karet dengan mengganti komoditas.
Penggantian komoditas sangat krusial, karena karet membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat menghasilkan. Jaring pengaman diharapkan membantu petani karet mengatasi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup jangka pendeknya. Di samping itu, bagi petani karet rakyat skala kecil, perlu dibina untuk punya penghasilan tambahan.
Selain untuk meningkatkan kesejahteraan (pendapatan), juga sekaligus sebagai jaring pengaman pada saat harga karet anjlok ataupun gangguan produksi. Misalnya, integrasi pertanian karet dengan tanaman lain atau ternak. Bisa juga dengan memberi keterampilan khusus yang dapat dimanfaatkan untuk mengisi waktu luang secara produktif baik untuk wanita taninya maupun bapak-bapak atau anak-anak petani.
Harus dibangun skema keuangan untuk mendukung kelangsungan pertanian karet sekaligus mengembangkan perkebunan karet berkelanjutan. Skema keuangan bisa dipupuk melalui penyisihan pendapatan ekspor karena sebagian besar karet diekspor atau pemerintah menyediakan pendanaan khusus yang bekerja sama dengan lembaga keuangan. Skema keuangan dimaksudkan untuk membantu petani keluar dari krisis pada saat sulit termasuk memodali pemeliharaan tanaman dan bahkan peremajaan tanaman karet.
(Artikel ini hasil kerja sama Universitas Lampung dan Lampung Post)