(Unila): Di balik semangat literasi yang terus tumbuh di tengah masyarakat, nama Dwi Ariyansyah atau akrab disapa Anca menjadi salah satu sosok yang memberi warna.
Sejak tahun 2021, ia memulai inisiatif mendirikan Gubuk Literasi, sebuah ruang belajar masyarakat yang hadir untuk mendampingi anak-anak agar memiliki akses bacaan, ruang aman, dan kesempatan berkembang.
Awalnya, Gubuk Literasi lahir pada 15 Agustus 2021 di tengah keterbatasan masa pandemi. Anca melihat banyak anak di lingkungannya kesulitan belajar dan tidak memiliki ruang memadai untuk membaca, sementara situasi pandemi membuat mereka lebih sering berkumpul sambil bermain gawai.
Dari kegelisahan itu, ia menghadirkan tempat sederhana dengan buku-buku yang bisa diakses siapa saja, sekaligus menjadi ruang aman dan upaya pencegahan agar anak-anak tidak larut dalam penggunaan gawai berlebihan. Tak disangka, inisiatif ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat sekitar.
“Gubuk Literasi ini bukan sekadar tempat membaca, tapi ruang untuk anak-anak bisa merasa aman, percaya diri, dan punya kesempatan berkembang,” ujar Ancha.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan di Gubuk Literasi semakin beragam. Tidak hanya membaca, anak-anak juga diajak berdiskusi, mengikuti permainan edukatif, hingga melakukan eksperimen sederhana yang menumbuhkan rasa ingin tahu.
Misalnya menanam pohon bersama, bermain warna untuk mengenal dasar sains, dan berbagai kegiatan kreatif lainnya. Semua dirancang agar mereka merasa belajar adalah aktivitas yang menyenangkan.
Perjalanan Anca sendiri berawal dari masa kuliahnya di FISIP Unila, Program Studi D-3 Perpustakaan angkatan 2019. Ia aktif berorganisasi di berbagai lembaga mahasiswa, mulai dari BEM U, FSPI FISIP, DPM, hingga dipercaya menjadi Ketua Umum HMD Perpustakaan.
Dari sanalah ia terbiasa mengelola kegiatan, berinteraksi dengan banyak orang, dan mengasah kepedulian sosial. Semua pengalaman itu kemudian menjadi bekal ketika ia memutuskan untuk membangun Gubuk Literasi.
Salah satu cerita yang paling membekas adalah kisah seorang anak bernama Muhammad Nurul Fahri atau Moyes. Pada awalnya, Moyes belum bisa membaca dan menulis.
Namun setelah didampingi secara perlahan, ia mulai menunjukkan perkembangan. Kini, Moyes tidak hanya bisa bersekolah, tetapi juga berhasil meraih prestasi, bahkan pernah mewakili sekolahnya dalam lomba mewarnai.
“Melihat Moyes bisa sekolah dan berprestasi, padahal dulu ia belum bisa baca tulis, itu menjadi momen paling membahagiakan buat saya,” ujar Ancha.
Anca menekankan bahwa Gubuk Literasi adalah ruang bersama, bukan miliknya pribadi. Ia memang memulai pendirian, tetapi sejak awal banyak orang baik yang ikut terlibat.
Dukungan datang dari berbagai pihak, salah satunya Muthia Balqis yang kini berperan sebagai CEO Gubuk Literasi. Keberadaan para relawan yang konsisten mendampingi anak-anak juga menjadi kekuatan utama program ini.
Saat ini, kepengurusan Gubuk dipimpin Aryo Sulaiman dari UIN dengan semangat bersama untuk menjaga konsistensi gerakan literasi.
“Gubuk ini bukan punya saya sendiri. Memang awalnya saya mendirikan, tapi setelah itu banyak yang ikut membantu, seperti Mbak Muthia Balqis yang sekarang menjadi CEO Gubuk, serta teman-teman volunteer lainnya,” jelas Ancha.
Kini, Anca sendiri telah merantau ke Jakarta. Ia bersyukur karena bisa meniti karier sebagai pustakawan di Perpustakaan Nasional Indonesia. Meski tidak lagi berada di Lampung, ia tetap mendukung Gubuk Literasi dari jauh dan percaya bahwa gerakan ini akan terus hidup bersama para relawan.
Keberadaan Gubuk Literasi juga memberi pelajaran berharga bagi Anca tentang arti kebersamaan. Ia menyadari perubahan tidak harus dilakukan dengan langkah besar, tetapi bisa dimulai dari hal kecil yang dikerjakan secara konsisten.
Menurutnya, literasi adalah kunci untuk membuka kesempatan lebih luas, dan setiap orang bisa berperan menjadi bagian dari perubahan itu. Ada dua pilihan yang mahasiswa harus ambil, menjadi mahasiswa yang berperan atau baperan.
“Semua pilihan boleh, tapi kalau jadi mahasiswa yang baperan, harus bawa perubahan. Tanggung jawab sebagai mahasiswa bukan sebatas kamu dan Tuhan, tapi banyak orang-orang yang mengharapkan kamu untuk melakukan sebuah perubahan. Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi? ‘Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. (HR. Ahmad),” ujar Ancha. [Magang_Shalu Munadiyan].















