Sebagai undang-undang (UU) yang mengayomi guru dan dosen, UU No. 14/2005 tidak lepas dari polemik serta kontroversi dalam pengaplikasian isi pada butir, pasal, maupun ayatnya. Khususnya pasal 1 tentang tugas pokok dan fungsi guru.

Menurut Dosen Komunikasi Universitas Lampung (Unila) Aom Karomani, di pasal 1 ayat 1 guru dijelaskan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, dan membimbing. Selain itu, juga mengarahkan, melatih, menilai, serta mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini (PAUD) jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Sementara pada ayat 2 disebutkan, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

’’Dengan dua tugas pokok dan fungsinya, seharusnya dosen dan guru harus berbeda. Tapi kenapa negara mengatur keuangan (gaji) dan tunjangan mereka sama,’’ paparnya kemarin (20/1).

Menilik tugas dan fungsi dosen yang lebih kompleks dan penuh tanggung jawab, pria yang mempunyai jabatan Kepala UPT Pelayanan Pendidikan Unila ini bersama rekanan sejawatnya dari kalangan akademisi akan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). ’’Pasal yang kami ujikan adalah pasal 16 ayat 1 dan 2 serta pasal 53 ayat 1 dan 2,’’ terangnya.

Aom menambahkan, pihak dosen sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan besarnya tunjangan yang diberikan pemerintah. Namun, dari hasil uji publik itu diharapkan seyogyanya pemerintah melihat beban kerja dan persyaratan sertifikasi dosen yang jauh lebih susah daripada guru.

Dosen ilmu komunikasi politik yang juga inisiator uji publik UU tersebut melihat lulusan dosen minimal S-2, sedangkan guru S-1. Tapi perhatian pemerintah dalam memberikan tunjangan sertifikasi sama. Padahal, dalam implementasi hukum keadilan tidak dilihat dari nominal, tapi tingginya kewajiban dan tanggung jawab.

Kontroversi keadilannya ada di pasal 16 dan 53 yang menyebutkan. ’’Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilanjutkan dalam ayat selanjutnya’’.

Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.

’’Hal ini yang ingin kami angkat dalam diskusi, kami berharap pemerintah dapat lebih bijak dalam melihat permasalahan dan mempertimbangkannya karena menurut kami idealnya tunjangan dosen adalah dua kali gaji. Sementara untuk guru besar 3 kali gaji,’’ tegas Aom.

Dia menambahkan, berdasarkan realitas di lapangan, masih banyak dosen di Indonesia lulusan dari berbagai perguruan tinggi ternama di berbagai penjuru dunia, ketika pulang dan mengabdi bekerja di tanah air penghasilan mereka masih sangat minim. Tentu perlu ada penyesuaian antara pencapaian akademik dengan pertimbangan keadilan berpenghasilan.

Secara implisit, Aom menyindir tugas dari Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) kurang berperan menaungi nasib dosen. ’’Inilah yang sebenarnya menjadi pertimbangan bagi kami untuk melakukan uji publik UU tersebut ke MK. Kalau saja ADI peka, tidak perlu kami para dosen melakukannya,’’ sindirnya.


Sumber : Radar Lampung – Selasa, 21 Januari 2014

Artikel ini diambil dari berbagai media yang memberitakan Universitas Lampung, tidak memperhitungkan ada kerja sama atau tidak dan perlu dikonfirmasikan ke Unila jika ada hal yang tidak jelas.