(Unila): Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) Fuad Abdulgani, S.Sos., M.A., dalam kesempatannya sebagai keynote speaker, memaparkan hasil risetnya berjudul “Sago, Agroforestry, and Industry: West Papua’s Experience” dalam sesi kedua Mini Conference Internasional “Agroforestry: Present Case and the Role of Higher Education Institutions”, yang digelar pada 12 November 2025.

Kegiatan ini merupakan bagian dari kolaborasi global Project Harvest (Higher Education Leadership on Agricultural and Food Rights for Environmental Sustainability) yang melibatkan berbagai universitas di Indonesia, Eropa, dan Asia Tenggara.

Dalam paparannya, Fuad menyoroti pentingnya sagu sebagai spesies kunci budaya (cultural keystone species) bagi masyarakat adat Papua di wilayah Kais, Sorong Selatan, Papua Barat.

Sagu, menurutnya, tidak hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga menjadi bagian dari sistem sosial-ekologis yang kompleks — mencakup identitas budaya, sistem pengelolaan lingkungan, serta relasi sosial berbasis kekerabatan.

“Sagu bagi masyarakat Kais bukan sekadar komoditas pangan, melainkan penopang struktur sosial, budaya, dan ekonomi yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam,” jelas Fuad.

“Ketika industrialisasi sagu diperkenalkan melalui izin konsesi dan pabrik, muncul perubahan sosial yang signifikan, baik dari segi ketenagakerjaan, relasi antar klan, maupun keberlanjutan ekologis.”

Fuad juga menyoroti temuan lapangan dari penelitiannya pada tahun 2017 di bawah UGM–CARED Project, yang mengamati dampak industrialisasi sagu terhadap masyarakat lokal.

Ia menemukan, meskipun ada peningkatan pendapatan tunai dari kerja upahan dan penjualan batang sagu, terjadi penurunan keanekaragaman pangan dan meningkatnya ketegangan sosial antar komunitas.

Dalam konteks peran perguruan tinggi (Higher Education Institutions/HEIs), Fuad mencontohkan inisiatif seperti Akademi Komunitas Negeri Sorong Selatan (AKNESS) dan kolaborasi UGM–NZ Aid Programme yang mengembangkan model ekonomi sagu berbasis demokrasi ekonomi.

Model ini menekankan pentingnya pendekatan bottom-up, pemberdayaan komunitas, dan kolaborasi lintas disiplin antara perguruan tinggi, masyarakat adat, dan sektor industri.

“Tantangan utama riset dan pengabdian di sektor sagu melalui program UGM-CARED project saat itu adalah keberlanjutan dukungan setelah proyek berakhir,” terang Fuad.

“Namun peluangnya pengembangan sagu tetap besar, melalui pendidikan vokasional, riset komunitas, dan kemitraan lokal, perguruan tinggi dapat menjadi jembatan antara pengetahuan tradisional dan inovasi modern dalam pengelolaan sagu yang berkeadilan.”

Presentasi Fuad menjadi salah satu kontribusi FISIP dalam memperkuat jejaring riset global Harvest, yang menempatkan isu ketahanan pangan, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan sebagai fokus utama kolaborasi akademik lintas negara. [Rilis]

Tinggalkan Balasan

Please enter your comment!
Please enter your name here

15 + = 22