(Unila) : Pernahkan kita tanpa sadar menyebut teman kita ‘autis’ saat sedang asyik sendiri dengan dunia/gadget-nya? Atau kita tanpa sengaja menyebut teman kita ‘autis’ saat ia sedang bergerak aktif? Jika pernah, sadarkah apa yang telah kita lakukan itu salah dan merupakan tindakan bulliying terhadap penderita autisme?
Menurut siaran pers yang diterima dari Himpunan Mahasiswa Bimbingan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung (FKIP Unila), Selasa (23/4), tindakan itu tidak dibenarkan. “Menyebut seorang yang normal dengan autis adalah bentuk penghinaan terhadap para penyandang autis,” ungkap Vera Agustina dan Wahyu Dianto, Bimbingan Konseling ’12.
Menurut keduanya, autis bukanlah sebuah kata yang bisa digunakan untuk bercanda dan menjadi bahan tertawaan. “Penderita autis, terutama anak-anak itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan manusia normal. Mereka juga mampu menangkap apa yang bisa dilakukan manusia normal. Mereka hanya ingin menyampaikan apa yang ada dipikiran mereka, namun tidak mengerti bagaimana mengomunikasikannya,” papar keduanya.
Hingga kini, Himpunan Mahasiswa Bimbingan Konseling bekerja sama dengan Komunitas Peduli Autisme dan Autisme Care Indonesia (ACI) untuk menaungi anak-anak penderita autisme. Menurut data tahun 2012, penderita autisme (anak-anak) setiap tahun semakin meningkat, perbandingannya 1:88. Artinya, dari 88 anak, ada satu orang penderita autisme.
“Mereka memang berbeda, tapi mereka unik. Mereka juga bisa berprestasi seperti yang lainnya. Mereka berlian yang sangat mahal dan tak mudah didapat. Kita harus belajar menerima mereka dan menyayangi mereka, karena mau tidak mau mereka ada disekitar kita,” tutur mereka.
Sekali lagi, mereka mengimbau kepada masyarakat untuk jangan pernah mengejek, menghina, apalagi menjauhi anak penderita autisme. “Mereka juga punya hati, ingin bermain, punya emosi. Jadi jangan sekali-kali mendiskriminasikan mereka,” tutup mereka.[] Andro